Efek Dunning-Kruger: Sedikit Mengetahui, Banyak Berasumsi.
Haris Raditya S
Biologi Internasional (2019)


 

Akhir akhir ini kita sering menemukan orang-orang yang sangat mudah mengemukakan pendapat diluar kapasitasnya dan mereka kemudian menjadi ‘narasumber’. Dilatar belakangi pengetahuan, atau latar belakang yang terbatas yang dimiliki, ‘narasumber’ tersebut memberikan argumen ‘do & don’t’. Ketika keterbatasan ini menjadi dasar seseorang untuk memberikan argumen, dan merasa dirinya lebih benar akan argumen tersebut, hal ini dinamai efek Dunning-kruger. Semakin kita mengetahui, kita akan menyadari akan banyak hal yang masih perlu dipelajari.

Dunning-Kruger Effect adalah bias kognitif Ketika seseorang yang tidak memiliki kemampuan mengalami superioritas ilusif, artinya ia merasa kemampuannya lebih hebat daripada orang lain. Bias ini diakibatkan oleh ketidakmampuan orang tersebut secara metakognitif untuk mengetahui segala kekurangannya (Morris, 2010). Metakognisi adalah kemampuan untuk menyadari kesalahan, mengambil jarak untuk melihat apa yang sedang anda lakukan, dan menyadari bahwa anda salah melakukannya (Nichols, 2017).

Frasa “The Death of Expertise” (matinya kepakaran) yang dipaparkan oleh Nichols merujuk kepada akar dari segala kebebalan orang awam yang mengalami “Efek Dunning-Kruger”. Dunning Kruger ditemukan oleh David Dunning dan Justin Kruger dari Cornell University pada tahun 1999 yang menyatakan bahwa “semakin bodoh anda, semakin yakin bahwa anda sebenarnya tidak bodoh”. Temuan utamanya bahwa “Mereka bukan hanya salah dalam menyimpulkan dan membuat pilihan, inkompetensi juga mengambil kemampuan mereka menyadari kesalahan tersebut (2017: 52).

Tom Nichols dalam “The Death of Expertise: The Campaign against Established Knowledge and Why it Matters” (2017) membuka analisanya dengan argumen bahwa setiap orang tak akan mampu menjadi multi-kognitif atau mengetahui segala macam topik secara universal. Nichols kemudian membedakan antara intelektual dengan orang awam. Seorang intelektual adalah mereka yang setidaknya memiliki empat perpaduan kriteria, yaitu pendidikan, bakat, pengalaman, dan pengakuan dari rekan sejawat. Pendidikan Bagi Nichols menjadi penting, namun kadarnya sebatas dasar pengakuan dari institusi bahwa seseorang telah melewati tahapan pengajaran formal terhadap bidang tertentu. Ijazah, surat pengakuan, atau lisensi setidaknya membedakan intelektual dengan penipu. Namun, pendidikan formal saja tidak cukup untuk menyebut seseorang sebagai intelektual karena banyak di antara orang-orang dengan gelar pendidikan formal yang tinggi tak menonjol dibanding dengan yang lain, atau justru tak memiliki “akal sehat”. Mereka tak lebih menonjol dibanding dengan yang lain karena yang lain memiliki bakat sehingga tak hanya lebih tahu, melainkan juga mampu memaparkan dengan lebih baik, bahkan menghasilkan sesuatu yang baru. Orang-orang dengan gelar akademik yang tinggi ini kemungkinan hanya mendapatkan jalan untuk memasuki profesi tertentu, tapi keahliannya belum tentu bisa mumpuni.

Dongeng, takhayul, dan teori konspirasi memperparah Efek Dunning-Kruger. Dari ketiga irasionalitas tersebut, teori konspirasi bekerja lebih mumpuni dengan membuat argumen yang dipaparkan seolah-olah komperhensif dan rasional. Misalnya dongeng tentang Asal-usul Candi Prambanan yang menceritakan kisah cinta heroik seorang pria bernama Bandung Bondowoso pada Roro Jonggrang yang berakhir ironi membuat takhayul di tengah masyarakat bahwa pasangan kekasih yang bersama mengunjungi Prambanan akan berakhir dengan putus cinta. Atau mitos bahwa orang bersuku Jawa tak boleh menikah dengan yang bersuku Sunda akibat sejarah Perang Bubat.

 

Mitos, dongeng serta takhayul semacam itu dapat dijelaskan dengan logika sederhana (hukum parsimoni) bahwa pasangan yang tumbuh dengan kondisi historis serta ekologis yang berbeda akan membentuk karakter berlainan yang cenderung memperlebar kemungkinan konflik dan perceraian (meskipun argumen ini memerlukan kajian mendalam). Masalah takhayul dan dongeng tak begitu signifikan dan kompleks daripada teori konspirasi.

Kerumitan di atas menjadi masalah besar para intelektual karena orang-orang awam berubah menjadi orang bebal (susah diberi tahu) ketika mereka tak memiliki kemampuan metakognisi. Ilmuwan yang merupakan bagian dari intelektual mempelajari dan mendapatkan Ilmu pengetahuan yang telah mapan tak secara sederhana, sesederhana perdebatan di media daring. Ilmuwan melakukan penalaran atau analisis dari fakta-fakta yang diamati, diukur, dan diverifikasi. Pengumpulan data dilakukan berulang kali dan melakukan peer-review (tinjauan sejawat) lalu menggunakan double-blind review untuk mencegah bias pribadi dan bila perlu melakukan peer-review dengan argumentasi yang bertolak belakang dengan argumentasinya untuk mendapatkan kesimpulan yang mapan. Tak hanya melalui serangkaian tahap tersebut untuk menjadi intelektual, namun kemampuan laten (Graff, 2001) terhadap bidang tertentu lalu mengasahnya kedalam argumentasi kritis menjadi penentu intelektualitas seseorang dalam suatu bidang.
Pendidikan formal seharusnya mengajarkan seseorang untuk memiliki kemampuan metakognisi (Nichols, 2017) dan membangun budaya penuh argumentasi (Graff dan Looby, 1994: 440). Membuat suasana kegembiraan dalam mengajar melalui pendidikan kritis membuat orang mampu menimbang berbagai jenis bukti, bergerak diantara berbagai bukti yang dipaparkan orang lain, dalam generalisasi dan suatu yang spesifik, merangkum berbagai pendapat, lalu menciptakan ide (Graff, 2001). Melalui hal itu, intelektualitas akan tetap hidup.

 

Dunning, D. (2011). The Dunning–Kruger Effect. Advances in Experimental Social Psychology, 247–296. doi:10.1016/b978-0-12-385522-0.00005-6 
Graff, Gerald. (2001). Hidden Intellectualism. Duke University Press. Journal of Pedagogy, Volume 1 pp 21- 36
Graff, Gerald., and Christopher Looby. (1994).“Gender and the Politics of Conflict Pedagogy: A Dialogue.”American LiteraryHistory6:434–52.
Morris, Errol (20 June 2010). “The Anosognosic’s Dilemma: Something’s Wrong but You’ll Never Know What It Is (Part 1)”. New York Times.
Nichols, Tom. (2017). The Death of Expertise: The Campaign Agains Established Knowledge and Why it Matters. United States: Oxford University Press
Schlösser, T., Dunning, D., Johnson, K. L., & Kruger, J. (2013). How unaware are the unskilled? Empirical tests of the “signal extraction” counterexplanation for the Dunning–Kruger effect in self-evaluation of performance. Journal of Economic Psychology, 39, 85–100. doi:10.1016/j.joep.2013.07.004

Komentar

Postingan populer dari blog ini

“Trik Lolos Karya Tulis, PMW dan PKM”

KAJIAN UKMPR: Wave Energy Converters (WECs): Teknologi Konversi Energi Gelombang Laut (Ocean Wave) dalam Integrasi Transisi Energi Terbarukan untuk Mencapai Nett Zero Emission

KAJIAN UKMPR: Kenali Bahaya dari Si Manis yang Tersembunyi (Hidden Sugar)