Hidup Simple dengan Filosofi Stoa
Jimmy Al Fa’is
Biologi (2017)
Manusia memiliki persepsi yang berbeda terhadap kehidupan. Seringkali kita memandang sebuah masalah yang sebenarnya cukup sederhana namun menjadi sangat rumit karena bertumpuk dengan beragam persepsi yang kita ciptakan sendiri. Lahirnya media sosial sebagai salah satu hasil perkembangan teknologi informasi berakibat pula pada makin kompleksnya problematika masyarakat. Perubahan atau pergeseran baik dari sisi budaya, etika dan norma terjadi dalam masyarakat. Sifat media sosial yang bebas adalah sebabnya. Muatan atau isi dari sosial media dapat diaksess oleh siapa saja asalkan seseorang memiliki akses berupa gawai dan terhubung dengan jaringan internet (Abraham, 2014). Hal ini menjadi salah satu pemicu utama atas masalah yang lebih rumit dan menyusahkan. Oleh karena itu, manusia mencari berbagai macam alternatif solusi untuk mendamaikan kehidupan mereka, salah satunya dengan menganut filosofi stoa.
Filosofi Stoa merupakan salah satu aliran filsafat Yunani Kuno yang berasal dari kota Athena, oleh Zeno dari Citium. Athena pada saat itu menjadi pusat belajar filsafat, dimana Zeno (yang dipengaruhi oleh Socrates) merupakan salah satu pengajar aliran Stoa. Kegiatan belajar yang dilakukan Kaum Stoa tidak hanya berlangsung di dalam kelas tetapi juga di luar kelas seperti beranda-beranda rumah. Karena itu, kemudian muncul istilah Stoa dan Stoik. Perlu diketahui, bahwa Stoa merupakan bahasa Yunani yang berarti beranda rumah, sedangkan Stoik merujuk pada orang-orang yang belajar di beranda-beranda rumah. Lebih lanjut Manampiring (2019) menyebut aliran filsafat ini sebagai filosofi teras.
Salah satu prinsip utama dari filosofi stoa adalah dikotomi kendali. Ungkapan terkenal dari filsuf Stoa yakni Epictetus untuk menjelaskan prinsip ini berbunyi “some things are up to us, some things are not up to us.“ Arti dari ungkapan tersebut adalah ada hal-hal yang berada di bawah kendali kita, adapula hal-hal yang tidak berada di bawah kendali kita. Ungkapan tersebut menjelaskan bahwa terdapat beberapa hal yang bisa kita kendalikan seperti pertimbangan (judgment, opini, persepsi), keinginan, tujuan dan segala sesuatu yang merupakan pikiran dan tindakan seseorang itu sendiri. Hal-hal di luar itu merupakan hal-hal yang tidak perlu dipedulikan secara serius misalnya : kekayaan, opini orang lain, ketenaran dan karir. Sesuatu yang ada di bawah kendali kita bersifat merdeka, tidak terikat, tidak terhambat, tetapi hal-hal yang tidak di bawah kendali kita bersifat lemah, bagai budak, terikat, dan milik orang lain. Karenanya, ingatlah, jika kita menganggap hal-hal yang bagaikan budak sebagai bebas, dan hal-hal yang merupakan milik orang lain sebagai milik kita sendiri, maka hanya akan muncul rasa berlasah, kekecewaan, dan kedengkian. Filosofi stoa memberikan arahan kepada kita agar terlebih dahulu fokus pada diri sendiri dan tidak silau dengan pencapaian orang lain (Manampiring, 2019).
Seringkali kita terjebak oleh persepsi pribadi terhadap suatu masalah yang seharusnya simple, namun menjadi rumit tak berujung. Hal ini disebabkan karena kita selalu memisahkan “emosi” dari “nalar/rasio” sebagai dua kekuatan berbeda yang saling bertarung, selalu ada yang kalah dan menang. Seolah jika nalar menang dari emosi, maka kita menjadi manusia yang tenang dan terkendali. Sebaliknya, saat emosi lebih dominan dari nalar, maka kita melakukan hal-hal yang destruktif. Ajaran Filosofi stoa menentang konsep tersebut dengan menjelaskan bahwa pada dasarnya semua emosi dipicu oleh penilaian, opini, persepsi kita. Keduanya saling terkait, dan jika ada emosi negatif, sumbernya berasal dan nalar/rasio kita sendiri. Lebih lanjut Filosofi stoa memberikan pemisahan antara apa yang bisa ditangkap oleh indra kita (impression), dan apa yang kita lihat dan dengar (representation). Kita sering gagal memisahkan keduanya. Pada umumnya, kita serta merta memberikan interpretasi/penilaian (value judgment) dan pemaknaan dari sebuah peristiwa yang dialami. Peristiwa itu sendiri hampir selalu netral, tetapi kemudian menjadi “positif” atau “negatif” karena interpretasi dan makna yang kita berikan (Manampiring, 2019).
Holiday & Hanselman (2016) menambahkan Keutamaan bagi filsafat stoa terdiri dalam kesadaran akan kewajiban, ia menuntut agar manusia menyangkal diri, melepaskan diri dari segala ketergantungan terhadap orang lain. Menusia harus bersikap keras terhadap dirinya sendiri. Manusia harus menaklukkan hawa nafsu dan kecondongan-kecondongan yang rendah. Ajaran tentang keutamaan Stoa disamping kebijaksanaan moral (phronesis), adalah keadilan, keberanian, penguasaan diri, dan kemanusiaan. “Terimalah dan lepaskanlah”, itulah tuntutan dasar ajaran moral stoa.
Oleh karena itu, penting bagi kia untuk menyadari potensi dari suatu masalah. Kita memiliki opsi yang lebih masuk akal saat menyelesaikan masalah dengan metode kaum stoa ini. Salah satunya adalah dengan mengutamakan nalar dan emosi yang seimbang. Mahdiyyah (2020) menjelaskan bahwa nalar yang benar akan membuat seseorang menjadi tidak reaktif dalam menghadapi suatu masalah. Ia akan terhindar dari emosi negatif seperti kemarahan dan kebencian. Hal ini juga dapat diterapkan dalam bermedia social, dimana melalui nalar yang benar seseorang juga bisa memilih mana informasi yang penting dan tidak penting baginya. Sehingga kegiatan bermedia sosial bisa menjadi kegiatan yang menyenangkan dan mencerdaskan.
.Abraham, Firda. 2014. Pemanfaatan Media Online Terhadap Interaksi Sosial Masyarakat Media Online Utilization As Community‟s Social Interaction. Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan. 18(2). 173.
Holiday, Ryan & Hanselman, Stephen. 2016. The Daily Stoic. New York : Portfolio
Mahdiyyah, M., 2020. Konsep Kebahagiaan Dalam Buku Filosofi Teras Karya Henry Manampiring (Perspektif Teori Kebahagiaan Al-Farabi). Disertasi. IAIN Surakarta.
Manampiring, Henry. 2019. Filosofi Teras. Jakarta : Kompas.
Komentar
Posting Komentar